9.5.11

Profil Mira Lesmana

Tomboi dan tak bisa diam adalah gambaran Mira Lesmana kecil. Tapi, ada satu hal yang bisa membuatnya duduk manis, yaitu dongeng. Tak hanya yang diceritakan oleh kedua orang tuanya, Jack dan Nien, tetapi juga oleh guru dan Mak Sani, pembantu rumah tangga keluarga mereka.

“Masa kanak-kanakku memang sangat indah,” kenangnya. “Sejak kecil aku sudah terbiasa mendengar cerita. Ternyata, ini mampu membangkitkan imajinasiku,” lanjutnya. Tentu, ini di kemudian hari menjadi bekalnya menyelami dunia perfilman.

KEBIASAAN UNIK
Dilahirkan di Jakarta, 8 Agustus 1964, Mira adalah putri pertama Jack dan Nien. Dari suami terdahulu, Nien sudah mempunyai tiga anak, Kris, Ade, dan Lanny. Saat mengandung Mira, Nien merasa tidak ada sesuatu yang istimewa. Bahkan, ngidam yang aneh-aneh pun tidak.

Sebagai seniman yang dekat dengan Presiden Soekarno saat itu, Jack maupun Nien sering diundang ke Istana Negara atau diutus menjadi duta seni ke negara-negara sahabat, baik Asia maupun Eropa. Saat usia kandungannya sudah lebih 6 bulan, Nien tetap energik dan sangat bergairah untuk naik panggung bersama para artis papan atas saat itu, seperti Bing Slamet, Titiek Puspa, dan Bubby Chen. Selain itu, ia juga sangat senang nonton film. Jack sampai mengkhawatirkan istrinya yang sangat aktif itu.

Syukurlah, bayi seberat 3,2 kilogram yang dikandung Nien lahir dengan selamat. Proses kelahirannya gampang sekali, hanya dengan pertolongan seorang perawat. “Ketika dokter datang, bayi saya sudah lahir,” kenang Nien.

Bayi itu oleh Nien diberi nama Mira Lesmana. Tapi, suaminya mengusulkan untuk menambah nama ‘wati’ di belakangnya sehingga menjadi Mira Lesmanawati. Bayi itu tumbuh sehat dan tidak gampang sakit, walaupun fisiknya tampak kerempeng. Lucunya, saat memasuki usia 2 tahun, Mira kecil tidak mau dielus-elus saat mau tidur. “Ia baru bisa tidur kalau saya memukuli bantal atau kasurnya keras-keras,” papar Nien, sembari tertawa. “Kalau saya memukulnya kurang keras, ia langsung protes. Kalau tidur sendirian, dia akan memukul-mukuli kasur atau bantal,” kisah Nien.

“Aku memang merasa nyaman mendengar suara tepukan yang ada ritmenya itu. Aku bisa menjadi lebih relaks dan tenang,” kata Mira.

Makin bertambah usianya, dia makin tidak mau diam, dan gerakannya pun sangat gesit. “Saking aktifnya, kakinya saya kasih gelang keroncong, sehingga kalau lari ke mana-mana ia bisa langsung ketahuan,” papar Nien.

Mira mengakui, ia paling sering bersembunyi di dalam lemari atau di bawah tempat tidur, apalagi jika ia sangat kesal atau ingin membuat kesal orang lain. Kadang-kadang, ia dikurung di dalam kamar mandi selama 10-15 menit oleh ayah atau ibunya menjadi hukuman kalau ia atau Indra nakal. Kebiasaan ini ternyata berdampak kurang positif baginya saat ini. Mira mengatakan, “Setiap kali berada di ruang tertutup yang agak kecil dan tidak ada jendela atau arah pandang ke luar, aku merasa sangat ketakutan dan tiba-tiba jadi sesak napas. Di dalam lift yang isinya kelewat banyak, misalnya, aku tidak tahan berlama-lama di situ.”

Mira kecil tak terlalu suka makan. Yang aneh, dia suka sekali makan tembok! Ini bukan isapan jempol belaka. Jari-jari mungilnya suka mengorek-ngorek dinding rumah dan kemudian melahap serpihan-serpihan tembok yang rontok. Ibunya yang khawatir melihat kebiasaan ini segera membawa putrinya ke dokter. Tapi, dokter mengatakan kepada Nien untuk tak merisaukan hal ini selama Mira tak mengonsumsinya secara berlebihan.

Hanya satu orang yang mampu menaklukkan Mira, yaitu Mak Sani. Ia bisa membuat Mira mau membuka mulutnya dengan gembira. Sambil menyuapi, Mak Sani biasanya bercerita dan beradegan sesuai isi cerita itu, hingga Mira terkesima. Ia masih ingat, Mak pernah bercerita tentang seekor naga yang ingin makan, tapi tiba-tiba tertidur. Sambil bercerita seperti itu, Mak sudah menyiapkan suapan makanan di sendoknya dan pura-pura tidur. Pada saat itulah Mira langsung melahap makanan di tangan Mak. Dengan gayanya yang kocak, Mak pun seakan-akan kaget, “Hayo, siapa yang mencuri makanan tadi?”

SELALU JUARA KELAS
Mira kecil masuk sekolah TK Perguruan Islam Cikini ketika usianya genap lima tahun, dan dua tahun kemudian masuk ke SD di tempat yang sama. Awalnya, dari rumahnya di Tebet, Mira selalu diantar ayah atau ibunya. Ketika Indra juga mulai masuk di sekolah itu, keduanya pun naik kendaraan umum, seperti bajaj, helicak, atau bahkan bus kota.

Lokasi sekolahnya kebetulan bersebelahan dengan Studio Irama, tempat ayah maupun ibunya bekerja. Sepulang sekolah, Mira maupun Indra tidak harus langsung pulang ke rumah, tapi bisa berlama-lama bermain di sekolah atau di tempat ayah dan ibunya bekerja. “Saat itu hidup kami sangat asyik dan relaks. Kami boleh main-main di studio,” kata Mira.

Di sekolah inilah kesukaannya mendengarkan cerita bisa terpenuhi. Salah seorang guru matematika memang selalu menghadiahi murid-muridnya dengan dongeng-dongeng mengasyikkan. “Setiap mengajar, ia selalu menyisakan sedikit waktunya di akhir pelajaran untuk bercerita. Begitu Pak Guru mengatakan, ‘Buku boleh ditutup!’ maka seisi kelas akan langsung berteriak menyambut dengan antusias. Ceritanya sangat menarik dan terus bersambung seperti telenovela. Cara bertuturnya pun sangat pintar sehingga kami selalu antusias untuk mendengarkan sampai akhir,” kenang Mira.

Prestasi Mira boleh dibilang cemerlang. Saat kelas 1 sampai 3, ia masuk peringkat 5 besar. Ia bahkan bisa menjadi juara kelas saat duduk di kelas 5. “Tapi, aku merasa peringkat itu bukan sesuatu yang istimewa. Yang sangat bangga Ayah dan Mami. Setiap kali ada saudara atau teman-temannya datang, nilai raporku selalu diberitahukan kepada mereka,” katanya.

Mira sendiri tidak merasa dirinya cerdas. “Semua ini hanya bermula dari rasa frustrasi! Dulu aku selalu frustrasi kalau ada tugas yang tidak bisa aku kerjakan. Sikap ini memicuku untuk bisa berpikir dan bekerja lebih keras lagi. Kalau aku kemudian berhasil menduduki peringkat 1, itu bukan karena aku sangat cerdas, tapi karena tekadku yang besar. Peringkat itu hanya merupakan upaya pembuktian pada diri sendiri bahwa kalau mau, aku bisa meraihnya.”

Sejak mulai bersekolah, kedua orang tua Mira memang tidak pernah menargetkan putra-putrinya untuk meraih peringkat tertentu di sekolah. “Sejak masih dalam kandungan sampai anak-anak lahir, kami tidak pernah menginginkan anak-anak menjadi ‘seseorang’. Yang lebih penting mereka harus menjalankan pilihan mereka dengan baik dan sungguh-sungguh!” tegas Nien.

BAGIAN DUA



TODAY DIRECTORY © 2008 today directory.

TOPO